BUKAN GURU TIDAK BOLEH MARAH
Banyak kasus kekerasan yang terjadi
dalam proses pembelajaran. Bahkan tidak sedikit kasus-kasus kekerasan itu
berujung di meja hijau. Peristiwa kekerasan yang terjadi, biasa diawali oleh
kemarahan guru karena tingkah polah sang murid yang membuat sang guru
kehilangan kesabaran. Hingga muncul sebuah peraturan tidak tertulis GURU TIDAK
BOLEH MARAH.
Marah adalah salah satu bentuk emosi
manusia atas sikap, perilaku, atau hal yang membuat ia tidak nyaman. Sikap
marah adalah suatu yang wajar. Sikap ini biasanya muncul jika sang pelaku
merasa tersakiti, baik itu secara fisik atau mental. Bentuk kemarahan bisa
terwujud dalam beberapa perilaku. Ada
kemarahan yang berupa cacian, lontaran kata-kata yang seringkali tidak
terkontrol. Ada pula kemarahan yang berupa tindakan fisik berupa pukulan
ataupun tendangan. Dan perilaku itu hanya perwujudan sikap marah dalam bentuk
fisik.
Marah sebenarnya lebih pada sisi
emosional, perasaan, pemikiran manusia yang jika bisa dilampiaskan dengan baik,
maka kemarahan akan berefek positif. Tetapi jika marah dipendam tanpa ada
pelampiasan yang benar atau dilampiaskan dengan cara yang salah maka bisa
mengakibatkan efek negatif baik bagi yang
mengalami atau bagi orang-orang di sekelilingnya.
Pernah dalam kesempatan saya mengajar
di sebuah TPQ beberapa tahun yang lalu, dalam menghadapi murid, saya
melampiaskan kemarahan saya dengan cara yang salah. Pada waktu itu, ketika
dalam proses pembelajaran ada seorang santri yang datang terlambat, salah
membawa buku dan mengacau kelas saya dengan selalu mengerjai teman-teman saya.
ketika saya menulis materi di papan tulis, santri tersebut sukses membuat
temannya menangis dan ia pun tertawa terbahak-bahak. Spontas saya meraih
penghapus dan melemparnya dengan sekuat tenaga ke santri tersebut. Penghapus
itu hanya menyerempet rambutnya dan menghantam pintu di belakangnya dengan
suara yang sangat keras. Santri tersebut diam dan gemetar. Santri dari kelas
lain dan berbondong-bondong melihat kelas s aya. Sedetik kemudian santri
tersebut berlari dengan menangis, pulang. Beberapa minggu kemudian santri
tersebut tidak pernah datang dan ia pindah ke TPQ lain.
Itu adalah pengalaman saya ketika
saya tidak bisa mengendalikan kemarahan saya. saya tidak bisa melampiaskan
kemarahan saya dengan cara yang baik. Masih terbayang dalam ingatan saya,
seandainya penghapus itu mengenai kepalanya, saya yakin hari itu pasti saya
berada di penjara.
Sejak itu saya mulai mengatur
kemarahan saya, bagaimana cara melampiaskannya dengan benar tanpa mencederai
perasaan dan fisik murid saya. Sangat susah memang untuk saya yang pada
dasarnya sangat temperamen. Saya pun mulai mencari contoh bagaimana mengontrol
kemarahan saya. Alhamdulillah, saya akhirnya menemukan contoh yang sangat tepat
dan sangat dekat. IBU saya!
Pelajaran pertama: Melampiaskan kemarahan
tidak harus kepada anak didik kita, tapi tunjukkan kemarahan pada anak didik
kita sehingga ia tahu bahwa kita tidak suka dengan tindakannya. Hal ini saya
simpulkan dari cara ibu saya memarahi kakak saya ketika mendapat nilai 0 (nol)
waktu SD. Ibu tidak menunjukkan kemarahan dengan makian apalagi pukulan atau
cubitan tetapi dengan merobek buku kakak saya. setiap kakak saya mendapat nilai
merah, ibu selalu merobek buku kakak saya sambil berkata, “kalo kamu dapat
nilai jelek, bukumu sing tak suwek.” Ajaibnya nilai kakak saya terus membaik. Tapi
yang saya tahu, jika ibu merobek buku kakak saya, dijamin hari itu tidak ada
uang saku karena uangnya habis buat beli buku.
Pelajaran kedua: jangan memberikan
hukuman dengan penuh emosi, tapi berikan hukuman dengan penuh perhatian dan
tunjukkan bahwa dengan hukuman itu anak didik kita tahu bahwa kita tidak suka
dengan tindakannya yang salah. Hal ini saya dapatkan dari kakak saya bagaimana
ibu pernah menghukum kakak saya dengan pukulan hingga kakak saya minta dibunuh
saja. Bagi praktisi pendidikan tindakan pemukulan mungkin tidak disarankan.
Yang menarik perhatian saya dari sikap pemukulan ibu adalah bagaimana kemudian
beliau menyebutkan kesalahan kakak saya dan menanyakan alasannya. Waktu itu ibu
marah karena kakak tidak mau TADARUS setelah berkali-kali diminta dengan alasan
takut diejek orang. Dan ibu tetap meminta kakak saya ikut tadarus dengan
jaminan tidak akan ada yang mengejek kakak. Jaminan itu benar-benar dilakukan.
Pelajaran ketiga: ketika kita memberi
hukuman, jangan sekali-kali meninggalkan anak didik kita tanpa ada alasan yang
jelas dan ijin mereka. Seringkali kita memberikan hukuman dengan meminta anak
didik kita melakukan sesuatu seperti membersihkan kelas, menulis kalimat
penyesalan. Tetapi kita sering hanya memerintah dan meninggalkan mereka.
Usahakan untuk menunggu dan menemani mereka dalam menjalankan hukuman.
Pelajaran keempat: kita boleh menjadi
guru paling kejam, tapi kita harus jadi guru yang menyenangkan dan ramah.
Seringkali kita, sebagai guru harus menjaga sikap dengan tidak terlalu akrab anak
didik kita. Terkadang kita merasa gengsi untuk menyapa anak didik kita terlebih
dahulu. Padahal akan sangat lebih baik jika menjadi guru yang tegas dalam
bersikap dan juga guru yang paling perhatian dan CARE terhadap anak
didik kita. Sehingga mereka sadar bahwa ketegasan kita sebagai salah satu
bentuk perhatian kita.
Alhamdulillah, saya mulai bisa
merubah sikap pemarah saya. saya mulai enjoy dengan anak-anak yang dianggap
bermasalah. Dan saya bisa dekat dengan mereka dan anak didik saya sangat
menghormati saya, mendengarkan nasehat saya dan berusaha melakukan semua apa
yang saya sarankan. Dan satu lagi, saya bahkan sering menjadi tempat curhat
bagi anak didik saya.
Komentar