KYAI, MASIH KUINGAT MAAFMU
Manusia bertambah dewasa seiring
dengan bertambahnya usia. Tetapi kedewasaan itu tumbuh bergantung dengan
masalah yang kita hadapi, siapa yang kita temui, dan bagaimana kita menyikapi.
KH. Mohammad Tidjani Djauhari, MA.
nama beliau. Seorang kyai di sebuah pesantren besar di Madura tempat saya
menghabiskan masa SMP dan SMA saya. Jangan pernah bertanya mengapa saya bisa
berada di sana, karena saya pasti hanya akan menjawab, “Itu takdir dan jalan
hidup saya.” Bagi saya, beliau adalah guru dan inspirasi para guru, memenuhi
panggilan untuk menjadi guru di pesantren milik orang tuanya ketika tengah
meraih sukses di negeri orang.
Hidup di pesantren besar seperti
Al-Amin tidaklah mudah. Jangan pernah berharap bisa sering bertemu dengan Pak
Kyai dalam sebuah kelas atau dalam sebuah proses pembelajaran. Hanya santri
tingkat tertentu saja yang mungkin mendapat kesempatan diajar oleh beliau. Dan
saya adalah santri yang beruntung yang bisa dekat dengan beliau bahkan bisa
sering bertatap muka secara pribadi.
Kisah ini bermula ketika saya baru
lulus dari SMA. Setelah memastikan tidak lulus dalam ujian SNMPTN karena
hilangnya kartu peserta dan tidak bisa mengikuti ujian, saya memutuskan untuk
mengabdikan diri di pesantren tempat saya belajar. Dengan tujuan untuk mengasah
pengalaman dan mencari tambahan ilmu, saya memantapkan diri mengutarakan niat
saya kepada Pak Kyai. Dalam proses pengabdian itu, jalan hidup saya tidaklah
mudah. Masih terekam jelas dalam ingatan, untuk mengajar 18 jam pertemuan
setiap minggunya, terasa banyak bagi saya yang tidak memiliki pengalaman dalam
mengajar. Apalagi dibandingkan dengan teman-teman seangkatan yang hanya diberi
amanah untuk mengajar tidak lebih dari 6 jam seminggu.
Dalam masa pengabdian itu, keinginan untuk
mendapat beasiswa ke luar negeri terutama di timur-tengah masih sangat
menggebu-gebu. Dengan beberapa kali ijin tidak mengajar untuk mengikuti
beberapa seleksi beasiswa ditambah fisik saya yang memang rentan sakit, saya
dicap sebagai guru yang tidak bertanggung jawab, yang sering meninggalkan tugas
mengajar. Hingga pada saat saya mengantarkan anak-anak SMA mengikuti kompetisi
mading di surabaya, saya diminta untuk kembali ke pondok secepatnya. Dan tanpa
saya duga sebelumnya, sekembalinya saya ke pesantren, Kepala Sekolah mengatakan
saya diminta untuk mengundurkan diri, berpamitan dan saya DIKELUARKAN dari
pengabdian saya di pesantren!
Tanpa protes dan dengan penyesalan
yang sangat saya mengemas barang-barang sebelum akhirnya saya menghadap Pak
Kyai Tidjani untuk berpamitan. Sore itu, saya menghadap beliau dengan segala
kepasrahan dan penyesalan. Sebelum sempat saya menjabat dan mencium tangan
beliau, beliau sudah memerintahkan saya untuk kembali menghadap kepala sekolah
saat itu juga di kantor sekolah sebelum saya mengatakan niatan saya untuk
berpamitan!
Secepatnya saya pergi ke kantor
sekolah. Sepi. Saya hanya mendapati kepala sekolah yang telah menunggu. Beliau
mengatakan bahwa Pak Kyai meminta agar saya tetap di pondok walaupun tetap
dinon-aktifkan dari amanah sebagai guru tetapi beliau mengganti dengan sebuah
amanah baru, mendampingi para santri untuk menerbitkan majalah sekolah. Saya
tahu bahwa Pak Kyai masih memaafkan saya, masih memberi kesempatan bagi saya.
Saya memang berkecimpung di majalah pesantren ketika SMA, mengurus mading kelas
ataupun mading sekolah adalah hal biasa. Tetapi menerbitkan majalah baru adalah
hal yang benar-benar baru!
Yang paling berkesan dalam
menjalankan tugas baru ini adalah bagaimana beliau mendampingi saya secara
langsung. Suatu kesempatan langka yang bisa saya dapatkan. Kesempatan
berdiskusi dengan beliau, mendengarkan pendapat-pendapat beliau dan bagaimana
beliau mendengarkan pendapat saya adalah suatu yang sangat langka di pesantren.
Sangat jarang seorang ustadz muda (begitu alumni yang mengabdi dipanggil) bisa
dekat dengan beliau. Selain itu beliau bahkan mempertemukan saya dengan seorang
Ahmadi Thaha, mantan jurnalis Republika yang sekarang menjadi redaktur Majalah
Gontor, hanya untuk mengajari saya bagaimana seharusnya majalah itu. WOW...
saya mendapat kesempatan kedua dan saya diberi kesempatan yang langka.
Dari beliau, banyak hal yang saya
pelajari bagaimana seorang guru bersikap terhadap muridnya. Bagaimana beliau
bisa mempercayai dan memberikan saya kesempatan kedua. Bagaimana beliau mau
memaafkan kesalahan saya ketika orang lain menganggap sudah tidak ada maaf. Dan
bagaimana beliau tidak lepas tangan begitu saja ketika memberikan amanah yang
benar-benar baru bagi saya.
Terkadang kita sebagai guru, tidak
bisa sabar dalam menghadapi siswa. Bahkan kita sering mudah tidak percaya dan
penuh rasa curiga terhadap murid kita. Kika sering dipenuhi dengan prasangka
yang sebetulnya hal itu tak selayaknya kita berikan kepada murid kita.
Seringkali kita juga dengan mudah men-cap murid kita sebagai “si terlambat”,
“si tukang onar”, “si pemalas”, dan “si” “si” yang lain. Padahal seharusnya
kita mencari terlebih dahulu, tabayyun, mengklarifikasi setiap
pelanggaran yang terjadi. Allah pun meminta kita untuk menjauhi sikap
berprasangka sebagaimana dalam surat Al hujurat ayat 12
“Hai orang-orang
yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian
prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain
dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah
seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
Dan seringkali kita juga tidak mudah
memberikan maaf dan kesempatan kedua bagi anak didik kita. Padahal sebenarnya
kesalahan bukanlah kegagalan. Kesalahan adalah pembelajaran bagi mereka untuk
terus berkembang. Jika kita mampu mendampingi murid kita, Insya Allah kesalahan
yang mereka perbuat adalah pelajaran yang berharga bagi mereka untuk menjadi
manusia yang sempurna.
Terakhir, izinkan saya menutup dengan
Doa untuk Alm. KH. Mohammad Tidjani Djauhari, MA, guru saya, Kyai saya. semoga
Allah memberikan pahala yang terus mengalir . semoga semua ilmu yang telah
beliau ajarkan secara langsung ataupun tidak langsung menjadi ilmu yang
bermanfaat, dan Allah mengampuni segala dosanya. Amien.
Mojokerto, 8 February 2012
Catatan:
KH. Moh. Tidjani
Djauhari MA lahir di Sumenep, Madura 24 Dzulqa’dah 1365 H/23 Oktober
1945 M. Wafat: Kamis, 15 Ramadhan 1428 H/27 September 2007 M. Beliau adalah Pimpinan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura.
Komentar