Menjadi Dewasa
Semua orang pasti ingin menjadi dewasa, tidak lagi dianggap anak kecil ataupun kekanak-kanak. Keinginan untuk menjadi dewasa pun telah tumbuh sejak masih anak ingusan. Bisa dilihat dari tingkah laku anak-anak yang sering meniru perilaku orang tua yang nantinya bisa menjadi kebanggaan di depan teman-temannya. Keingingan untuk menjadi dewasa seringkali tidak diikuti oleh pemahaman yang benar tentang kedewasaan.
Definisi dewasa tidaklah sama setiap orang. Ada yang menganggap dewasa sebagai kemampuan berpikir yang taktis. Ada pula yang mendeskripsikan sebagai kemampuan menangani sebuah masalah. Tidak sedikit pun orang menganggap kedewasaan adalah bagaimana ia menempatkan diri dalam kehidupan sosial, tidak egois, dan berpikir lebih luas.
Ada istilah “MENJADI TUA ADALAH NISCAYA, MENJADI DEWASA ADALAH PILIHAN”. Kalimat tadi seakan ingin menunjukkan tidak semua orang yang lebih tua, lebih dewasa dibanding yang masih muda. Menjadi dewasa adalah sebuah pilihan yang harus ditentukan sebagai komitmen dalam mengarungi hidup. Selain pameo di atas, pernah saya mendengar uangkapan yang lebih menarik dan bahkan mungkin bisa menjadi perenungan bagi mereka yang memang ingin MENJADI DEWASA!
Dalam sebuah dialog dengan seorang tokoh, beliau mengungkapkan kepada saya bahwa “menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa adalah niscaya seiring bertambahnya usia bergantung dengan masalah yang kita hadapi, orang yang kita temui, dan bagaimana kita menghadapi masalah tersebut.” Perkataan ini cukup menarik. Menjadi dewasa adalah sebuah kepastian yang seharusnya kita semua bisa meraih kedewasaan itu. Karena menjadi dewasa adalah sebuah kepastian beriring bertambahnya usia kita yang tentunya bertambah pula masalah yang kita hadapi. Bisa diartikan bahwa masalah adalah ujian bagi kita untuk meraih kedewasaan. Semakin besar masalah yang kita hadapi, semakin cepat kita menggenggam kedewasaan. Tetapi semua tetap kembali bagaimana kita menyelesaikan masalah tersebut. Apakah kita menyelesaikan masalah tersebut dengan baik dan cepat, atau kita menyelesaikannya dengan cara yang salah atau bahkan kita lari dari masalah tersebut. Disinilah betapa pentingnya orang yang kita temui ketika menghadapi masalah. Jika bertemu dengan orang yang tepat, bisa jadi kita mampu menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat. Tetapi jika bertemu dengan orang yang salah, masalah itu akan menjadi lebih besar. Dan akhirnya tetap kembali bagaimana kita menyelesaikan masalah tersebut yang kemudian bisa menjadi pembelajaran kehidupan yang berharga.
Hahahaha, tulisan diatas seakan-akan menunjukkan betapa dewasanya saya. tidak. Disini sebenarnya saya ingin menyampaikan kisah emak bagaimana beliau menilai sebuah kedewasaan.
Emak terlahir sebagai anak gadis yang cerdas, penuh impian. Sayangnya keinginan yang besar itu tidak sepenuhnya terpenuhi. Keinginan untuk menjadi guru harus pupus karena larangan orang tua untuk melanjutkan studi. Dinikahkan diusia yang cukup muda, 14 tahun, memaksa emak menjadi dewasa lebih cepat. Permasalahan datang silih berganti sejak pernikahan harus dihadapi emak yang bisa dibilang masih ABG. Tetapi permasalahan itu dihadapi dengan tenang dan pemikiran yang jernih. Disinilah kedewasaan itu muncul. Bagaimana emak mampu berpikir jernih, mengikuti keyakinannya, bukan mengikuti nafsunya dalam menyelesaikan masalah. Keyakinan untuk bertindak hal yang benar walaupun itu harus menghadapi resiko disalahkan bahkan dimusuhi.
Emak bercerita bagaimana diawal pernikahan, bapak yang “dipekerjakan” oleh saudara tuanya untuk menggarap sawah tetapi hanya diberi upah makan hari itu langsung ditentang oleh emak yang masih ABG. Bagi emak, bekerja seharusnya mendapat upah dari pekerjaannya. Maka emak melarang bapak untuk menggarap sawah jika tidak digaji. Karena emak berpikir bapak tidak mendapat haknya, bapak hanya diperalat oleh saudaranya. Tidak digaji berarti emak tidak bisa makan, tidak bisa hidup dengan layak. Kemudian emak meminta bapak untuk ikut dengan orangtuanya yang kemudian diajari untuk bekerja, diajari menjadi pandai besi, dan digaji. Disinilah kemudian emak mulai tidak disukai oleh saudaranya.
Masalah lain yang harus dihadapi emak adalah masalah warisan. Bukan Emak berharap mendapat warisan yang lebih. Emak hanya ingin kebenaran dan keadilan dalam pembagian warisan. Rumah peninggala Kakek, orang tua bapak, menjadi hak bapak dan 2 saudaranya. Disini bapak memilih untuk mengganti bagian saudaranya agar rumah secara keseluruhan menjadi milik bapak karena rumah berdiri diatas tanah yang menjadi bagian bapak. Hal ini pun disetujui. Tetapi setelah itu muncul masalah baru. Keinginan untuk merenovasi rumah yang terdiri dari gebyok dan gedek menjadi rumah gedong ditentang oleh saudara-saudara bapak. Emak berpikir apa hak mereka melarang, “ini rumah kami.” Dengan tenang emak bilang kalau memang tidak boleh, ya bangun disebelahnya, toh masih ada ruang untuk membangun 2 rumah lagi. Akhirnya saudara-saudara bapak menyerah tetapi kemudian menggunjing kesana kemari akan kemampuan bapak dan emak untuk membangun rumah dengan mengatakan, “gak kedhol tah sawahe?” Disinilah kedewasaan emak dalam menghadapi masalah. Emak menghadapi gunjingan tersebut dengan sikap bukan dengan omongan. Rumah jadi dan gunjingan pun berhenti dengan sendiri.
Masih banyak kisah-kisah emak dalam menghadapi masalah kehidupan. Yang bisa saya tangkap dari sikap-sikap emak adalah bagaimana emak mampu berpikir dengan semestinya, mana yang benar mana yang salah, tidak mengikuti emosi, berpikir tenang, jujur terhadap diri sendiri, menghadapi masalah dengan tenang, tidak hanya protes tanpa bertindak. Bagi saya itulah dewasa yang sebenarnya
Komentar